PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Cukup Clik Mouse di tengah layar untuk mengetahui Sifat-sifat Allah SWT!

Monday, October 10, 2016

Asma'ul Husna dan artinya, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

''Asmaa'ul husna'' adalah nama-nama Allah ta'ala yang indah dan baik.

Asma berarti nama dan husna berarti yang baik, atau yang indah. Jadi Asma'ul Husna adalah nama-nama milik Allah ta'ala yang baik lagi indah.

Sejak dulu para ulama telah banyak membahas dan menafsirkan nama-nama ini, karena nama-nama Allah adalah menunjuk kepada Dzat yang mesti kita ibadahi dengan sebenar-benarnya.

Meskipun timbul perbedaan pendapat tentang arti, makna, dan penafsirannya, akan tetapi yang jelas adalah kita tidak boleh musyrik (atau diluar ketentuan syariat) dalam mempergunakan atau menyebut nama-nama Allah ta'ala.

Selain perbedaaan dalam mengartikan dan menafsirkan suatu nama terdapat pula perbedaan jumlah nama, ada yang menyebut 99, 100, 200, bahkan 1.000 bahkan 4.000 nama, namun menurut mereka, yang terpenting adalah hakikat Dzat Allah SWT, yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang-orang yang beriman seperti Nabi Muhammad SAW.

Asmaa'ul husna secara harfiah ialah nama-nama, atau sebutan, atau gelar dari Allah, yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya.

Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu, merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.

Para ulama berpendapat bahwa kebenaran adalah konsistensi dengan kebenaran yang lain.

Dengan cara ini, umat Islam tidak akan mudah menulis seperti ''Allah adalah ...'', karena tidak ada satu hal pun yang dapat disetarakan dengan Allah.

Pembahasan berikut hanyalah pendekatan yang disesuaikan dengan konsep akal kita yang sangat terbatas.

Semua kata yang ditujukan pada [[Allah]] harus dipahami keberbedaannya dengan penggunaan kata-kata itu.

Allah tidak dapat dimisalkan atau dimiripkan dengan segala sesuatu. Hal itu dijelaskan pada surat Al-Ikhlas berikut ini:

''"Katakanlah: "Dia-lah (Allah), Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia"''. '''(QS. Al-Ikhlas : 1-4)'''

Para ulama menekankan bahwa Allah adalah sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada namanya. Semua nilai kebenaran mutlak hanya ada (dan bergantung) pada-Nya.

Dengan demikian, Allah Yang Memiliki, Maha Tinggi, Maha Dekat, Maha Kuasa, dan juga Maha Pengasih, dan Maha Penyayang.

Sifat-sifat Allah dijelaskan dengan istilah Asmaaul Husna, yaitu nama-nama, sebutan atau gelar yang baik.

Terdapat beberapa dalil yang menjelaskan tentang Asma'ul Husna, sebagaimana berikut ini:

"Dialah Allah, tidak ada Tuhan/Illah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang baik)."'
(Q.S. Thaa-Haa : 8)

''Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
(Q.S Al-Israa' : 110)

"Allah memiliki Asmaa' ul Husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu..."
(QS. Al-A'raaf : 180)


Berikut keterangan Asma'ul Husna dengan arti dan lafad Arabnya:

1). Ar Rahman
الرحمن
Yang Maha Pengasih/Pemurah
The All Beneficent


2). Ar Rahiim
الرحيم
Yang Maha Penyayang
The Most Merciful


3). Al Malik
الملك
Yang Maha Merajai/Memerintah
The King, The Sovereign


4). Al Quddus
القدوس
Yang Memiliki Mutlak sifat Suci
The Most Holy


5). As Salaam
ا
لسلامYang Maha Memberi Kesejahteraan
Peace and Blessing


6). Al Mu`min
ا
لمؤمنYang Maha Memberi Keamanan
The Guarantor


7). Al Muhaimin
المهيمنYang Maha Memelihara
The Guardian, the Preserver


8). Al `Aziiz
العزيز
Yang Maha Menguasai
The Almighty, the Self Sufficient


9). Al Jabbar
الجبار
Yang Maha Perkasa
The Powerful, the Irresistible


10). Al Mutakabbir
المتكبر
Yang Maha Besar
The Tremendous


11). Al Khaliq
الخالق
Yang Maha Pencipta
The Creator


12). Al Baari`
البارئ
Yang Maha Membentuk
The Maker


13). Al Mushawwir
المصور
Yang Maha Membentuk Rupa (makhluknya)
The Fashioner of Forms


14). Al Ghaffaar
الغفار
Yang Maha Pengampun
The Ever Forgiving


15). Al Qahhaar
القهار
Yang Maha Memaksa
The All Compelling Subduer


16). Al Wahhaab
الوهاب
Yang Maha Pemberi Karunia
The Bestower


17). Ar Razzaaq
الرزاق
Yang Maha Pemberi Rejeki
The Ever Providing


18). Al Fattaah
لفتاح
Yang Maha Pembuka Rahmat
The Opener, the Victory Giver


19). Al `Aliim
العليم
Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
The All Knowing, the Omniscient


20). Al Qaabidh
القابض
Yang Maha Menyempitkan (makhluknya)
The Restrainer, the Straightener


21). Al Baasith
الباسط
Yang Maha Melapangkan (makhluknya)
The Expander, the Munificent


22). Al Khaafidh
الخافض
Yang Maha Merendahkan (makhluknya)
The Abaser


23). Ar Raafi`
الرافع
Yang Maha Meninggikan (makhluknya)
The Exalter


24). Al Mu`izz
المعز
Yang Maha Memuliakan (makhluknya)
The Giver of Honor


25). Al Mudzil
المذل
Yang Maha Menghinakan (makhluknya)
The Giver of Dishonor


26). Al Samii`
السميع
Yang Maha Mendengar
The All Hearing


27). Al Bashiir
البصير
Yang Maha Melihat
The All Seeing


28). Al Hakam
الحكم
Yang Maha Menetapkan
The Judge, the Arbitrator


29). Al `Adl
العدل
Yang Maha Adil
The Utterly Just


30). Al Lathiif
اللطيف
Yang Maha Lembut
The Subtly Kind


31). Al Khabiir
الخبير
Yang Maha Mengetahui Rahasia
The All Aware


32). Al Haliim
الحليم
Yang Maha Penyantun
The Forbearing, the Indulgent


33). Al `Azhiim
العظيم
Yang Maha Agung
The Magnificent, the Infinite


34). Al Ghafuur
الغفورYang Maha Pengampun
The All Forgiving


35). As Syakuur
الشكورYang Maha Pembalas Budi (Menghargai)
The Grateful


36). Al `Aliy
العلىYang Maha Tinggi
The Sublimely Exalted


37). Al Kabiir
الكبيرYang Maha Besar
The Great


38). Al Hafizh
الحفيظYang Maha Menjaga
The Preserver


39). Al Muqiit
المقيتYang Maha Pemberi Kecukupan
The Nourisher


40). Al Hasiib
الحسيب
Yang Maha Membuat Perhitungan
The Reckoner


41). Al Jaliil
الجليل
Yang Maha Mulia
The Majestic


42). Al Kariim
لكريامYang Maha Pemurah
The Bountiful, the Generous


43). Ar Raqiib
الرقيب
Yang Maha Mengawasi
The Watchful


44). Al Mujiib
المجيب
Yang Maha Mengabulkan
The Responsive, the Answerer


45). Al Waasi`
الواسعYang Maha Luas
The Vast, the All Encompassing


46). Al Hakiim
الحكيم
Yang Maha Bijaksana
The Wise


47). Al Waduud
الودودYang Maha Pencinta
The Loving, the Kind One


48). Al Majiid
المجيد
Yang Maha Mulia
The All Glorious


49). Al Baa`its
الباعثYang Maha Membangkitkan
The Raiser of the Dead


50). As Syahiid
الشهيدYang Maha Menyaksikan
The Witness


51). Al Haqq
الحق
Yang Maha Benar
The Truth, the Real


52). Al Wakiil
الوكيلYang Maha Memelihara
The Trustee, the Dependable


53). Al Qawiyyu
القوى
Yang Maha Kuat
The Strong


54). Al Matiin
المتين
Yang Maha Kokoh
The Firm, the Steadfast


55). Al Waliyy
الول
Yang Maha Melindungi
The Protecting Friend, Patron, and Helper


56). Al Hamiid
الحميد
Yang Maha Terpuji
The All Praiseworthy


57). Al Muhshii
المحصى
Yang Maha Mengkalkulasi
The Accounter, the Numberer of All


58). Al Mubdi`
المبدئ
Yang Maha Memulai
The Producer, Originator, and Initiator of all


59). Al Mu`iid
المعيد
Yang Maha Mengembalikan Kehidupan
The Reinstater Who Brings Back All


60). Al Muhyii
المحيى
Yang Maha Menghidupkan
The Giver of Life


61). Al Mumiitu
المميت
Yang Maha Mematikan
The Bringer of Death, the Destroyer


62). Al Hayyu
الحي
Yang Maha Hidup
The Ever Living


63). Al Qayyuum
القيوم
Yang Maha Mandiri
The Self Subsisting Sustainer of All


64). Al Waajid
الواجد
Yang Maha Penemu
The Perceiver, the Finder, the Unfailing


65). Al Maajid
الماجد
Yang Maha Mulia
The Illustrious, the Magnificent


66). Al Wahiid
الواحد
Yang Maha Tunggal
The One, The Unique, Manifestation of Unity


67). Al Ahad
الاحد
Yang Maha Esa
The One Only


68). As Shamad
الصمد
Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
The Self Sufficient, the Impregnable, the Eternally Besought of All, the Everlasting


69). Al Qaadir
القادر
Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
The All Able


70). Al Muqtadir
المقتدر
Yang Maha Berkuasa
The All Determiner, the Dominant


71). Al Muqaddim
المقدم
Yang Maha Mendahulukan
The Expediter, He who brings forward


72). Al Mu`akkhir
المؤخر
Yang Maha Mengakhirkan
The Delayer, He who puts far away


73). Al Awwal
الأول
Yang Maha Awal
The First


74). Al Aakhir
الأخر
Yang Maha Akhir
The Last


75). Az Zhaahir
الظاهر
Yang Maha Nyata
The Manifest; the All Victorious


76). Al Baathin
الباطن
Yang Maha Ghaib
The Hidden; the All Encompassing


77). Al Waali
الوالي
Yang Maha Memerintah
The Patron


78). Al Muta`aalii
المتعالي
Yang Maha Tinggi
The Self Exalted


79). Al Barri
البر
Yang Maha Penderma
The Most Kind and Righteous


80). At Tawwaab
التواب
Yang Maha Penerima Tobat
The Ever Returning, Ever Relenting


81). Al Muntaqim
المنتقم
Yang Maha Penyiksa
The Avenger


82). Al Afuww
العفو
Yang Maha Pemaaf
The Pardoner, the Effacer of Sins


83). Ar Ra`uuf
الرؤوف
Yang Maha Pengasih
The Compassionate, the All Pitying


84). Malikul Mulk
مالك الملك
Penguasa Kerajaan (Semesta)
The Owner of All Sovereignty


85). Dzul Jalaali Wal Ikraam
ذو الجلال و الإكرام
Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
The Lord of Majesty and Generosity


86). Al Muqsith
المقسط
Yang Maha Adil
The Equitable, the Requiter


87). Al Jamii`
الجامع
Yang Maha Mengumpulkan
The Gatherer, the Unifier


88). Al Ghaniyy
الغنى
Yang Maha Berkecukupan
The All Rich, the Independent


89). Al Mughnii
المغنى
Yang Maha Memberi Kekayaan


90). Al Maani
المانع
Yang Mencegah


91). Ad Dhaar
الضار
Yang Maha Memberi Derita


92). An Nafii`
النافعYang Maha Memberi Manfaat


93). An Nuur
النور
Yang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)


94). Al Haadii
الهادئ
Yang Maha Pemberi Petunjuk


95). Al Baadii
البديع
Yang Maha Indah


96). Al Baaqii
الباقي
Yang Maha Kekal


97). Al Waarits
الوارث
Yang Maha Pewaris


98). Ar Rasyiid
الرشيد
Yang Maha Pandai
-The Guide to The Right Path


99). As Shabuur
الصبور
Yang Maha Sabar
The Patinet

Demikian 99 nama Allah SWT yang Maha Mulia.

Semoga para pembaca bisa memahami dan mencoba untuk meniru sifat-sifat Allah SWT diatas.

Bukanlah sesuatu yang sia-sia kalau Allah SWT mengabarkan sifat-sifatnya kepada kita manusia. Tujuannya adalah agar manusia sebagai mahluk yang paling sempurna, akan bisa meniru berbagai sifat Allah yang Maha Kuasa.

Meniru sifat ini jangan diartikan bahwa manusia mencoba untuk menjadi Tuhan. Akan tetapi, agar kita bisa "mendekati" Allah SWT sebagai pemilik berbagai sifat tersebut. Bukankah kita ingin dekat dengan Allah SWT?. Dan bukankah kita juga senang dengan orang atau kawan yang memiliki sifat dan kesenangan yang kurang lebih sama dengan kita?.

Sebagai contoh, jika kita senang Shalat, maka kita juga akan senang dengan orang yang suka Shalat. Dan kita akan menjauhi orang-orang yang tidak suka Shalat.

Begitu juga dengan Allah SWT. Allah SWT akan senang dan dekat dengan hambanya yang penyayang kepada sesama, karena Allah adalah Zat yang Maha Penyayang.

Dan sesungguhnya Rasulullah SAW adalah manusia yang sifatnya paling mendekati dengan sifat-sifat Allah SWT, itu sebabnya Rasulullah adalah manusia yang paling dekat dan paling disayang oleh Allah SWT dibandingkan dengan makhluk-nakhluknya yang lain. Itulah essensi dari "Makrifatulloh". Bukan bersatu dengan Allah SWT, karena makhluk tidak mungkin bersatu dengan penciptanya, akan tetapi makna sejati dari "Makrifatulloh" adalah mendekati sifat-sifat dari sang pencipta, sehingga sang pencipta mencintai dan dekat dengan mahluk yang mampu mendekati sifat-sifatnya dengan semaksimal mungkin.

Usahakanlah untuk memahami sifat-sifat Allah ini secara proporsional. Bukan sebatas hanya di wiridkan berpuluh, beratus dan beribu kali, akan tetapi terapkanlah sebagai pola fikir dan dalam perbuatan, sehingga kita akan menjadi manusia yang berakhlak baik, dan disayang oleh Allah SWT.

Semoga bermanfaat.

Ir.H.Iman Rachman, MBA.

(Sumber Materi: AL-Qur'an, Hadis, Dari berbagai Sumber Buku, Internet, Makalah, dan Pendapat para Ulama).

Memahami nama Allah dan menghitungnya, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

Mengenal nama Allah adalah keutamaan besar bagi seorang hamba, dengannya hamba akan semakin mengenal penciptanya, dan semakin menimbulkan ketundukkan dan rasa khusyu' ketika mengingat-Nya, di sanalah tempat berlabuh hati yang dipenuhi kerinduan kepada Rabbnya, mereguk air kesejukkan dikala panas gersang membiaskan fatamorgana.

Kaidah kaidah seputar isim (nama) Allah.

Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam kitabnya Qowa’id al mutsla menyebutkan tujuh kaidah seputar isim Allah, kita akan sebutkan secara ringkas yaitu :

Kaidah pertama : Nama nama (isim) Allah seluruhnya husna.

Husna artinya sampai kepada puncak kebagusan, Allah berfirman (Al A’raaf : 180) karena ia mengandung sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan padanya dari sisi manapun.

Contohnya Al Hayyu yang artinya Maha Hidup, ia adalah salah satu nama Allah yang mengandung makna kehidupan yang sempurna yang tidak didahului oleh ketidak adaan, dan tidak akan hancur selama lamanya, kehidupan yang mengharuskan kesempurnaan sifat berupa ilmu, kekuasaan, mendengar, melihat , dan sifat sifat lainnya.

Dan jika isim Allah itu digandengkan dengan isim lainnya, maka akan menghasilkan kesempurnaan diatas kesempurnaan, contohnya seperti Al ‘Aziz Al Hakiim seringkali Allah menggandengkan dua isim tersebut dalam al qur’an, Al Aziz artinya yang Maha Perkasa yang sempurna keperkasaannya, dan Al Hakiim artinya yang Maha mempunyai hikmah (bijaksana), namun bila dua nama tersebut digandengkan akan menimbulkan kesempurnaan lain yaitu bahwa keperkasaan Allah tidak menunjukkan kepada berbuat dzalim dan bertindak semena mena, akan tetapi dibarengi dengan hikmah yang agung dan kebijaksanaan yang sempurna, dan kebijaksanaan bila dibarengi keperkasaan akan sangat dahsyat pengaruhnya, berbeda dengan kebijaksanaan makhluk yang terkadang ditimpa kelemahan.

Kaidah kedua : semua nama Allah menunjukkan kepada ‘alam (tanda) dan sifat.

Tanda (‘alam) dari sisi penunjukkannya kepada Dzat dan sifat dari sisi penunjukkannya kepada makna maknanya.

atas dasar yang pertama maka semua nama Allah adalah sinonim karena menunjukkan kepada satu musamma (yang dinamai) yaitu Allah Azza wa Jalla seperti As Samii’ Al Bashiir, Ar Rahman, Al Hayyu, Al ‘Aziz, Al Hakiim semuanya adalah nama untuk satu dzat yaitu Allah.

Atas dasar yang kedua maka nama nama Allah berbeda dengan yang lainnya, dan setiap nama mempunyai makna yang husus untuknya, Al Hayy berbeda dengan Al ‘Aliim, Al ‘Aliim berbeda dengan Al Qadiir dan seterusnya.

Dari sini kita dapat mengetahui kesalahan kaum asy’ariyah yang hanya menetapkan 20 sifat bagi Allah, karena setiap nama Allah pasti menunjukkan kepada sifat, padahal mereka meyakini bahwa Allah mempunyai 99 nama, berarti ada sekitar 79 nama yang tidak mempunyai arti, misalnya Al Aziiz artinya yang mempunyai sifat izzah (perkasa lagi mulia) dan sifat ini tidak ada dalam 20 sifat yang mereka tetapkan sehingga konsekwensinya mereka menolak sifat ‘izzah bagi Allah dan seterusnya. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.

Kaidah ketiga : nama nama Allah jika menunjukkan kepada sifat muta’addi (yang membutuhkan objek) maka mengandung tiga perkara : pertama, penetapan nama tersebut untuk Allah Azza wa Jalla. Kedua, penetapan sifat yang dikandung oleh nama tersebut. Ketiga, penetapan hukum dan konsekwensinya.

Seperti As Samii’ yang artinya Maha Mendengar, ia adalah nama Allah yang mengandung sifat mendengar dan kita tetapkan hukum dan konsekwensinya yaitu bahwa Allah mendengar segala sesuatu baik yang tersembunyi maupun yang terang terangan.

Sebuah contoh praktek, para ulama berdalil dengan firman Allah dalam surat Al Maidah : 34, untuk menggugurkan hukum hadd atas para penyamun bila mereka telah bertaubat sebelum sampai kepada Qadli, karena Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman Nya “ Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, karena konsekwensi dua nama nama tersebut adalah bahwa Allah telah mengampuni dosa dosa mereka dan menyayanginya dengan menggugurkan hukum hadd atas mereka.

Adapun jika isim itu mengandung sifat yang tidak muta’addi (tidak membutuhkan objek) maka hanya menunjukkan kepada dua perkara : pertama, penetapan nama tersebut untuk Allah. Kedua, penetapan sifat yang dikandung oleh nama tersebut.

Kaidah keempat : penunjukkan nama nama Allah kepada dzat dan sifat Nya adalah dengan cara muthabaqah (kesesuaian), tadlommun (keterkandungan), dan iltizam (konsekwensi).

Contohnya Al Khaliq yang artinya Maha pencipta, secara muthabaqah ia menunjukkan kepada dzat Allah dan sifatnya yaitu menciptakan, secara tadlammun ia menunjukkan kepada dzat Allah saja dan kepada sifat menciptakan saja, dan secara iltizam maka ia menunjukkan kepada sifat ilmu dan kekuasaan karena menciptakan pasti harus dengan ilmu dan kemampuan sebagaimana firman Allah (ATH THALAQ : 12).

Kaidah kelima : nama nama Allah Ta’ala adalah tauqifiyah (harus sesuai dengan dalil).

Maka wajib memberikan nama bagi Allah sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Al qur’an dan sunnah, karena akal tidak mungkin mengetahui nama nama apa yang berhak bagi Allah, Allah berfirman (AL ISRA : 36).

Karena memberikan nama kepada Allah dengan apa yang Allah tidak namai diri Nya dengannya adalah sebuah kejahatan terhadap Allah Ta’ala, sehingga kewajiban kita adalah menjaga adab dan hanya mencukupkan diri dengan yang ditunjukkan oleh nash.

Kaidah keenam : nama nama Allah jumlahnya tidak terbatas dengan bilangan tertentu.

Hal ini berdasarkan hadits yang masyhur, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berdoa :

أَسْــأَلُكَ بِكُلِّ اسْــمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ يِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ (رواه أحمد وابن حبان والحاكم وهو صحيح )

“Aku memohon kepada Mu dengan seluruh nama Mu yang Engkau namai diri Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab Mu atau yang Engkau ajarkan pada salah seorang dari hamba Mu atau yang Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib disisi Mu... (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan ia adalah hadits shahih).

Dan apa apa yang Allah sembunyikan dalam ilmu ghaib tidak mungkin seorangpun dapat menghitungnya tidak pula meliputinya. Adapun sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّة َ(رواه البخاري ومسلم)

“Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan seratus kurang satu nama, barang siapa yang menghitungnya maka ia akan masuk syurga “. (Bukhari dan Muslim).

Makna hadits ini adalah bahwa jumlah tersebut yang dianjurkan untuk dihitung, dimana orang yang menghitungnya akan masuk syurga, sehingga kalimat “ Barang siapa yang menghitungnya…dst berfungsi sebagai penyempurna kalimat sebelumnya dan tidak berdiri sendiri, hal ini sama dengan perkataanmu : saya mempunyai seratus dirham yang aku persiapkan untuk dishodaqohkan, maka tidak menghalangi jika engkau mempunyai dirham dirham lain yang tidak disediakan untuk shodaqoh.

Kaidah ketujuh : penyimpangan terhadap nama nama Allah ada beberapa macam yaitu

Pertama : Mengingkari salah satu nama Allah dan sifat serta hukum yang ditunjukkan oleh nama tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan lainnya.

Kedua : menjadikan nama nama tersebut menunjukkan kepada sifat yang meyerupai sifat makhluk sebagaimana yang dilakukan oleh ahli tasybih.

Ketiga : Memberikan nama untuk Allah dengan nama yang Allah tidak pernah namai dirinya dengannya seperti orang Nashrani menamai Allah dengan bapak dan lainnya.

Keempat : mengambil nama nama Allah untuk berhala, seperti patung Al ‘Uzza dari Al ‘Aziz, Allaat dari al ilaah atas salah satu pendapat dari ahli tafsir.

Keutamaan menghitung nama Allah.

Telah disebutkan tadi hadits yang menyebutkan keutamaan menghitung nama Allah, yaitu bahwa orang yang menghitungnya maka ia akan masuk surga. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّة َ(رواه البخاري ومسلم)

“Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan seratus kurang satu nama, barang siapa yang menghitungnya maka ia akan masuk syurga “. (Bukhari dan Muslim)

Apa yang dimaksud dengan menghitungnya ?

Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya, imam Al Bukhari berpendapat bahwa maknanya adalah menghafalnya, dan dikuatkan oleh imam Nawawi rahimahullah. Berkata ibnu ‘Athiyah :” yaitu menghitung dan menghafalnya yang mengandung beriman kepadanya, mengagungkannya, dan mengambil pelajaran dari makna maknanya “.

Berkata Al Ashili :” Bukanlah yang dimaksud menghitungnya saja, karena orang fajirpun dapat menghitungnya, namun yang dimaksud adalah mengamalkannya “.

Berkata Abu Nua’im Al Ashbahani :” Bukanlah maksud hadits tersebut hanya menghitungnya saja, akan tetapi maksudnya adalah mengamalkannya, memahami makna maknanya dan mengimaninya “.

Berkata Abu umar Ath Tholamanki :”diantara kesempurnaan mengenal nama nama Allah dan sifatNya adalah mengenal nama nama dan sifat sifat dan faidah faidah yang terkandung di dalamnya, juga hakikat hakikat yang ditunjukkan olehnya… “.

Berkata Abul ‘Abbas bin Mu’id :” al ihsha (menghitung) ada dua makna : pertama, mencarinya dalam al qur’an dan sunnah, kedua adalah menghafalnya setelah ia menghitungnya… dan al ihsha mempunyai makna makna lain, diantaranya adalah ihsha fiqhi yaitu mengetahui makna maknanya dari bahasa dan menjabarkannya sesuai dengan sisi yang ditunjukkan oleh syari’at.

Diantara maknanya juga ihsha nadzori yaitu mengetahui makna setiap nama dilihat dari sighoh (redaksinya) lalu berdalil dengannya pada pengaruh yang terjadi di alam semesta, sehingga tidaklah engkau melewati suatu makhluk pun kecuali tampak padanya makna dari makna makna nama Allah Ta’ala dan mengenal kehususan sebagiannya, tempat pengikatannya dan penunjukkan setiap nama, dan ini adalah martabat ihsha yang paling tinggi.

Kesempurnaannya adalah menghadap kepada Allah dengan cara mengamalkan secara dzahir dan bathin apa yang ditunjukkan oleh setiap nama dari nama nama Allah, lalu ia beribadah kepada Allah dengan apa yang berhak untukNya dari sifat sifatnya yang suci… maka barang siapa yang telah menghasilkan martabat martabat ini maka ia telah sampai pada puncaknya, dan barang siapa yang diberikan salah satunya maka pahalanya sesuai dengan apa yang ia raih.

Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa ihsha mempunyai tiga martabat :

pertama adalah mengihsha lafadz lafadz dan jumlahnya.

Kedua adalah memahami makna makna dan yang ditunjukkan olehnya.

Ketiga yaitu berdo’a dengannya. Dan ia mempunyai dua martabat, pertama adalah do’a pujian dan ibadah. Dan kedua adalah do’a permintaan dan permohonan.

Maka tidak boleh memuji kecuali dengan asmaul husna dan sifatNya yang tinggi, dan tidak boleh memohon kecuali dengan namaNya, tidak boleh kita berkata : wahai yang ada (maujud), atau wahai dzat dan seterusnya, akan tetapi memohon dengan nama yang sesuai dengan permintaannya, sehingga yang meminta telah bertawassul dengan nama Allah Ta’ala. Barang siapa yang memperhatikan doa para rosul, ia akan mendapati sesuai dengan kaidah ini.

Dan ungkapan ini lebih baik dari ungkapan orang yang berkata : kita berakhlak dengan asmaul husna, karena ia adalah ungkapan yang tidak tepat yang diambil dari ahli filsafat, dan yang lebih bagus lagi adalah ungkapan : beribadah dengannya, dan yang lebih bagus lagi adalah ungkapan yang sesuai dengan ungkapan Al Qur’an yaitu berdo’a dengannya yang mengandung beribadah dan memohon “.

Menghitung nama Allah adalah pokok segala ilmu.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengulas :” ihsha (menghitung) asmaul husna dan berilmu tentangnya adalah pokok untuk mengetahui segala sesuatu yang dipelajari, karena sesuatu yang dipelajari itu dapat berupa makhluk Allah atau perintah, dan dapat pula berupa ilmu tentang apa yang Allah ciptakan atau ilmu tentang apa yang Allah syari’atkan.

Dan tempat munculnya penciptaan dan perintah adalah asmaul husna yang keduanya berhubungan dengan asmaul husna sebagaimana hubungan objek dengan subjeknya, maka perintah semuanya berasal dari asmaul husna, dan ini semuanya adalah baik, tidak keluar dari rel kemashlahatan hamba, kasih sayang dan berbuat ihsan kepada mereka, dengan cara mereka menyempurnakan perintah dan laranganNya.

Jadi semua perintahNya adalah mashlahat, hikmah, rahmat, dan berbuat ihsan, karena asalnya adalah asmaul husna. Semua perbuatannya juga tidak lepas dari keadilan, hikmah, mashlahat dan rahmat, karena asalnya adalah asmaul husna. Maka tidak ada perbedaan dalam makhlukNya tidak pula kesia siaan, karena Allah tidak menciptakan makhluk secara sia sia.

Sebagaimana segala sesuatu yang ada selain Allah adalah ciptaanNya, maka keberadaan selain Allah mengikuti keberadaanNya, sebagaimana makhluk mengikuti Khaliqnya…

Jadi ilmu tentang asmaul husna dan menghitungnya adalah pokok seluruh ilmu, maka barang siapa yang mengihsha (menghitung) nama namaNya sesuai yang layak bagi seorang makhluk, maka berarti ia telah mengihsha seluruh ilmu, karena mengihsha nama namaNya adalah pokok seluruh pengetahuan, dan karena semua yang dipelajari adalah konsekwensi dan hubungannya.

Perhatikanlah ! bahwa munculnya makhluk dan perintahNya adalah dari ilmu dan hikmahNya, oleh karena itu engkau tidak akan mendapatkan padanya aib dan kekurangan, karena kekurangan yang terjadi pada perintah dan perbuatan hamba bisa jadi karena kebodohannya atau tidak mempunyai hikmah, adapun Rabb Ta’ala adalah Maha Mengetahui dan Maha Hikmah (bijaksana) sehingga perintah dan perbuatanNya tidak akan ditimpa oleh kekurangan “.

Ibnu Utsaimin, Al Qowa’id al mutsla 9-26.

Karena nama nama Allah itu ada yang berasal dari kata kerja yang membutuhkan objek seperti mendengar, melihat dan seterusnya, dan ada yang berasal dari kata kerja yang tidak membutuhkan objek seperti perkasa, agung dan lainnya.

Bagian dari hadits Ibnu Mas’ud yang dikeluarkan oleh Ahmad (1/394, 452), ibnu Hibban (2372-mawarid) Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/519) dan yang lainnya. Dishshihkan oleh ibnu Qayyim dalam syifaul ‘alil hal. 274, Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad (3712), dan Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah (199).

Shahih Bukhari kitab da’awat bab lillahi miatu ismin ghairu wahid (6410), dan Muslim dalam shahihnya kitab dzikir dan do’a, bab fii amaaillahi ta’ala wa fadllu man ahshoha (2677), dari hadits Abu Hurairah.

Lihat pula fathul bari 11/220, Al Hafidz menukil perkataan imam Nawawi bahwa ini adalah kesepakatan seluruh ulama.

An nawawi, syarah shahih muslim 17/5.

fathul bari 11/226.

Ibnu Qayyim, bada’iul fawaid 1/ 288-289.

Ibnu Qayyim, bada’iul fawaid 1/286-287.

(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)

MENGAPA TIDAK SEMAKIN MENDEKAT KEPADA ALLAH?, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

MENGAPA TIDAK SEMAKIN MENDEKAT KEPADA ALLAH?

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Ketika bencana terjadi secara beruntun, mengapa banyak manusia semakin merendahkan diri dan semakin mengagungkan para pembesar jin yang diyakini sebagai penguasa laut, gunung-gunung, hutan-hutan atau tempat-tempat tertentu lainnya? Mengapa Allah sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta sesungguhnya, sekaligus sebagai pembuat bencana, justeru ditinggalkan, dilupakan dan diabaikan? Adakah pembesar-pembesar jin itu –meskipun mereka berkoalisi- mampu mengatasi bergolaknya gelombang laut dan mampu mengendalikan lahar-lahar dan awan panas jika Allah, Penguasa alam semesta ini, menghendaki terjadinya?

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang dapat mengabulkan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepadanya, dan yang dapat menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). [an Naml/27 : 62].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan : Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan bahwa hanya Dia sajalah yang akan dimohon ketika ada kesulitan-kesulitan berat, dan hanya Dia sajalah sandaran harapan ketika turun bencana-bencana. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam ayat lain:

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah (dari ingatan kamu) sesembahan yang biasanya kamu seru kecuali Allah. [al Israa`/17 : 67].

ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan bila kamu ditimpa oleh kemadharatan, maka hanya kepada Allah sajalah kamu meminta pertolongan. [an Nahl/16 : 53].

Maksudnya, tidak ada Dzat yang dapat dijadikan tempat berlindung oleh orang yang terhimpit kesulitan kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat melepaskan marabahaya dari seseorang kecuali Dia saja.[1]

Sementara Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan : Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa kaum musyrikin dari bangsa Arab dan semisalnya, dahulu benar-benar mengetahui bahwasanya tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang terdesak dalam himpitan berat dan tidak ada yang dapat menghilangkan kesulitan kecuali Allah saja. Kemudian Allah menyebutkan pengetahuan mereka itu di sini sebagai hujjah pematah bagi tindakan mereka yang (meskipun sudah mengetahui hanya Allah saja yang dapat melepaskan seseorang dari himpitan kesulitan, tetapi tetap) menjadikan selain Allah sebagai pemberi syafa’at. Karena itulah Allah selanjutnya berfirman:

أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ

Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya?[an Naml/27:62]

Maksudnya, adakah sesembahan selain Allah yang dapat memberikan pertolongan? Jika sesembahan-sesembahan mereka tidak mampu mengabulkan pertolongan pada saat mereka dalam kesulitan, maka seharusnya mereka tidak menjadikannya sekutu-sekutu bagi Allah.[2]

Kenyataannya, banyak orang sekarang tidak bertambah dekat kepada Allah pada saat mendapat himpitan keadaan yang berat seperti bencana dan lainnya. Sebaliknya justeru semakin durhaka kepadaNya Azza wa Jalla. Mereka bukan memohon pertolongan kepada Allah, tetapi malah mencari solusi dan alternatif lain yang justeru mendatangkan murkaNya. Ironisnya, hal ini dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dewasa ini yang hidup di era moderen.

Padahal kaum musyrikin pada masa jahiliyah di Arab dahulu ketika dihadapkan pada keadaan genting dimana nyawa seakan berada di ujung tanduk, mereka segera berlindung kepada Allah dengan tulus ikhlas dan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). [al Ankabut/29 : 65]

Mereka dengan ikhlas kembali kepada Allah pada saat mengalami keadaan genting, meskipun mereka kembali lagi pada kemusyrikannya setelah terbebas dari kesulitan.

Tetapi banyak orang sekarang, meskipun terhimpit oleh keadaan yang menyulitkan, bahkan terancam oleh kematian, seakan-akan tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya penolong yang kuasa melepaskan seseorang dari kesulitan, dan tidak ada siapapun selainNya yang dapat melakukannya. Oleh sebab itulah mereka enggan mendekatkan dirinya kepada Allah dengan meningkatkan semangat beribadah dan meninggalkan perbuatan syirik, khurafat, bid'ah dan kemaksiatan. Mereka justeru mencari pelarian kepada dukun-dukun atau ke tempat-tempat keramat atau benda-benda penangkal atau kepada pembesar-pembesar jin yang diyakini sebagai penunggu atau pengendali kawasan tertentu. Mereka ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Apakah ini pertanda, orang sekarang yang hidup di era teknologi serba canggih lebih terbelakang sikap hidupnya dibanding dengan orang-orang dahulu yang memiliki sebutan jahiliyah? Ataukah ini merupakan pertanda hari kiamat makin dekat sebab batas antara muslim dengan orang musyrik semakin tidak jelas?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dan tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah di antara umatku bergabung dengan kaum musyrikin, dan sampai kabilah-kabilah di antara umatku menyembah berhala. Dan sesungguhnya akan ada di tengah umatku para pendusta yang berjumlah tiga puluh, semuanya mengaku nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.[3]

Itulah fakta yang ada, sebagian orang sekarang, ketika berada dalam kesulitan, tidak tergerak hatinya untuk menyadari bahwa Allah-lah Penguasa tunggal yang menjadi tempat berlindung dari segala marabahaya. Apalagi ketika mereka dalam keadaan lapang dan senang. Ketika bencana semakin banyak melanda, maka semakin bersemangat pula sebagian orang memuja setan dan semakin tidak percaya kepada Allah. Padahal semakin banyak orang berbuat durhaka kepada Allah, jaminan keamanan dan ketenteraman dari Allah akan semakin sirna, bahkan tidak mustahil jika Allah justeru akan semakin banyak menimpakan bencana di dunia sebelum di akhirat. Dan bencana akhirat tentu lebih mengerikan daripada bencana dunia.

Allah Azza wa Jalla berfirman, di antaranya:

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain orang-orang yang zhalim. [al An'am/6 : 47].

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Sesungguhnya kebinasaan yang menyelimuti diri-diri orang-orang zhalim hanyalah disebabkan oleh kemusyrikan kepada Allah. Dan selamatlah orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi Allah. Maka orang-orang yang beribadah ini tidak diliputi rasa takut dan tidak pula kesedihan. [4]

Allah juga berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan. [Hud/11 : 117]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan: Kemudian Allah Ta'ala memberitakan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya berbuat zhalim kepada diri sendiri. Dan Allah tidak akan mendatangkan siksa dan adzabnya kepada suatu negeri yang penduduknya melakukan perbaikan, sampai mereka melakukan kezhaliman-kezhaliman. Tentu kezhaliman terbesar adalah kemusyrikan kepada Allah seperti telah dikemukakan di atas.

Sesungguhnya mencari solusi kepada selain Allah dengan mendekatkan diri kepada setan, misalnya dengan memberikan sesajian ke tempat-tempat tertentu yang dianggap rawan karena diyakini ada yang mbaurekso (Jawa : menunggu, mengusai), atau melakukan upacara-upacara tertentu untuk meminta keselamatan kepada selain Allah, seperti ruwatan, sedekah bumi, sedekah laut dan lain-lain, adalah perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an Nisaa`/4 : 48]

Oleh karena itu, hendaknya orang menjauhi perbuatan-perbuatan syirik semacam itu. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim (musyrik). Jika Allah menimpakan suatu madharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[Yunus/10 : 106-107].

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1307H-1376H, menjelaskan firman Allah pada ayat di atas:

فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ

(sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim).

Kezhaliman di sini maksudnya adalah syirik. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

[sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. –Luqman/31 ayat 13].[6]

Maksudnya, pelaku yang berbuat demikian itu (memohon kepada sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan madharat) termasuk orang musyrik. Seperti yang juga dikatakan oleh Imam ath Thabari dalam tafsirnya tentang ayat di atas : "Termasuk orang-orang yang zhalim" ialah termasuk orang-orang yang musyrik kepada Allah, zhalim kepada diri sendiri [7]. Dan ayat ini merupakan salah satu dalil yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah tentang syiriknya ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan [9] : Banyak ayat senada dengan ayat di atas. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ

Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) ilah yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di 'azab. [asy Syu'ara/26 : 213].

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

Dan tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh bagi mereka (para penyembahnya) dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. [al Ahqaf/46 : 5-6].

Para ulama menjelaskan, maksud ayat di atas ialah tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang meminta-minta dan melakukan persembahan kepada selain Allah yang berupa patung-patung serta meminta-minta kepada sesuatu yang tidak dapat memberikan apa-apa hingga hari kiamat. Patung-patung dan sesembahan-sesembahan selain Allah itu tidak akan mendengar permintaan dan tidak akan menyambut panggilan para pemintanya. Bahkan pada hari kiamat para sesembahan selain Allah tersebut akan menjadi musuh bagi para pemintanya. [11]

Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Dan makhluk-makhluk yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan berita kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35 : 14 - 15]. [12]

Memotong hewan untuk dipersembahkan kepada yang diyakini sebagai penunggu laut selatan atau penunggu gunung berapi supaya tidak murka dan mengamuk hingga terjadi tsunami, gempa, gunung meletus atau bencana-bencana lainnya, juga jelas merupakan perbuatan syirik, dilaknat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hanya dilakukan oleh orang-orang terbelakang. Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَسُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ كِلَاهُمَا عَنْ مَرْوَانَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ قَالَ فَقَالَ مَا هُنَّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ. (أخرجه مسلم)

Zuhair bin Harb dan Suraij bin Yunus telah menceritakan kepada kami, kedua-duanya dari Marwan. Zuhair berkata,”Marwan bin Mu'awiyah al Fazari telah menceritakan kepada kami (bahwa) Manshur bin Hayyan telah menceritakan kepada kami, (bahwa) Abu ath Thufail 'Aamir bin Waatsilah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya pernah berada di hadapan Ali bin Abi Thalib, kemudian datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apakah yang pernah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rahasiakan kepadamu?’ Abu ath Thufail berkata: Maka Ali marah seraya berkata: ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikannya kepada manusia. Hanya saja beliau menceritakan kepadaku tentang empat perkataan,’ maka orang itu bertanya: ‘Apakah empat perkataan itu?’ Ali menjawab: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi orang yang berbuat bid'ah (atau berbuat kejahatan), dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-tanda batas tanah".[13]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar zaman ini yang wafat beberapa tahun lalu, menjelaskan: "Menyembelih binatang untuk maksud mendekatkan diri dan mengagungkan selain Allah hukumnya syirik akbar, mengeluarkan pelakunya dari Islam".[14]

Lebih lanjut beliau rahimahullah menerangkan arti laknat Allah. Beliau menerangkan, laknat dari Allah artinya menjadikan terusir dan jauh dari rahmat Allah. Apabila dikatakan: Allah melaknatnya, berarti: Allah mengusir dan menjauhkannya dari rahmatNya. Apabila dikatakan: Ya Allah laknatlah Fulan, artinya: Ya Allah, jauhkanlah Fulan dari rahmatMu." [15]

Demikian pula memakai gelang dari besi, perak, emas, tembaga, benang, janur, akar bahar atau yang semacamnya untuk maksud tolak bala atau menghilangkan bala, juga termasuk perbuatan syirik.

Mengapa? Karena orang yang membuat sebab, -misalnya sebab kesembuhan atau sebab kesuksesan, padahal Allah tidak pernah menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar'i maupun secara takdir- [16] berarti ia telah mempersekutukan Allah. Karena ia menganggap selain Allah dapat membuat sebab [17]. Namun syirik yang dimaksud pada pembahasan terakhir ini, bisa syirik asghar/kecil (tidak sampai mengeluarkan dari agama), bisa pula syirik akbar (yang mengeluarkan dari agama); tergantung pada keyakinan pemakainya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. [18]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah membawakan dalil-dalil tentang syiriknya hal ini, antara lain firman Allah :

قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan madharat kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan madharat itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya.Katakanlah:"Cukuplah Allah bagiku".Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.'' [az Zumar/39 : 38]

Dan masih banyak nash lain, baik dari al Qur`an maupu hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesimpulannya, dari pemaparan ayat-ayat serta hadits-hadits di atas, menunjukkan bahwa makhluk, siapapun adanya, baik malaikat, para nabi, apalagi setan, jin dan apalagi makhluk-makhluk yang sudah mati atau benda-benda mati, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun dan madharat apapun. Maka memohon, mendekatkan diri dan merendahkan diri dengan melakukan persembahan kepada makhluk-makhluk ini hukumnya syirik. Orang akan hancur dan binasa karenanya.

Ketika umat banyak mendapat musibah dan bencana hingga mengakibatkan lenyapnya nyawa, harta benda dan tempat tinggal serta kesengsaraan-kesengsaraan duniawi lain, mestinya mereka semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak bertaubat, meluruskan dan meningkatkan ibadahnya kepada Allah, menjauhi kemusyrikan, bid'ah, khurafat, takhayul dan maksiat. Sebab Allah-lah penolong satu-satunya. Hanya Dia saja yang kuasa memberikan solusi sebaik-baiknya dan Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Marilah kembali ke jalan lurus. Dan hendaknya setiap insan menyayangi dirinya, apalah arti hidup di dunia ini jika kelak di akhirat mengalami kesengsaraan tak berkesudahan di neraka akibat perbuatan syirik yang dilakukannya di dunia hanya karena tidak sabar menghadapi cobaan atau bahkan lebih percaya pada keyakinan-keyakinan batil kepada dukun, tempat tertentu atau penunggu tempat tertentu. Nas'alullaha al 'Afiyah was Salamah min Kulli asy Syirki.

Maraji':
1. Tafsir al Qur`anul ‘Azhim, Ibnu Katsir, taqdim Abdul Qadir al Arna'uth, Darul Fa-iha` dan Darus Salam. Cet. I, 1414H/1994M.
2. Tafsir Taisir al-Karimir-Rahman, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, Masyru' Maktabah Thalib al Ilmi, Jum'iyyah Ihya'ut Turats al Islami, Kuwait, Cet. I, 1418H/1997M dalam 2 jilid.
3. Tafsir Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Aayil Qur`an, atau dikenal dengan Tafsir ath Thabari, dhabt wa ta'liq Mahmud Syakir, Daarut Turats al Arabi, Cet. I, 1421H/2001M.
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha, Darul Ma'rifah, Beirut, Cet. III, 1417H/1996M.
5. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al Albani, III/9, Maktabah al Ma'arif, Cet. II, 1421H/2000M.
6. Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, tash-hih dan ta'liq Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Masyru' Idarah al Masajid wal Masyari' al Khairiyah, Riyadh (Maktabah Darus-Salam dan Maktabah Darl Faiha'), Cet. I, 1413H/1992M.
7. Al Qaulul Mufid 'ala Kitabut Tauhid, yang dikumpulkan, ditulis dan ditakhrij oleh Dr. Sulaiman bin Abdillah bin Hamud Abal Khail dan Dr. Khalid bin Ali al Musyaiqih, Daarul 'Ashimah, Cet. I, 1415H.
8. Dan lain-lain.

(Sumber: Al-Manhaj)

LIMA RUKUN ISLAM,Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

LIMA RUKUN ISLAM


Oleh
Abu Isma’il Muslim al Atsari



Agama Islam ibarat sebuah bangunan kokoh yang menaungi pemeluknya dan menjaganya dari bahaya dan keburukan. Bangunan Islam ini memiliki lima tiang penegak, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih. Maka alangkah pentingnya kita memahami masalah ini dengan keterangan ulama Islam. Berikut ini adalah hadits-hadits tersebut.

Hadits Pertama

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. [HR Bukhari, no. 8].

Hadits Kedua

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ فَقَالَ رَجُلٌ الْحَجُّ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ لَا صِيَامُ رَمَضَانَ وَالْحَجُّ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak),: mentauhidkan (mengesakan) Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan hajji”. Seorang laki-laki mengatakan: “Haji dan puasa Ramadhan,” maka Ibnu Umar berkata: “Tidak, puasa Ramadhan dan haji, demikian ini aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. [HR. Muslim, no. (16)-19]

Hadits Ketiga

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): beribadah kepada Allah dan mengingkari (peribadahan) kepada selainNya, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan”. [HR Muslim, no. (16)-20].

Hadits Keempat

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
ِ
Abdullah (Ibnu Umar) Radhiyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad adalah hamba Allah dan RasulNya; menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. [HR. Muslim, no. (16)-21].

Hadits Kelima

عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَلَا تَغْزُو فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ
ِ
Dari Thawus, bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma : “Tidakkah Anda berperang?”, maka dia berkata: “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima (tanggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan; dan hajji’.” [HR Muslim, no. (16)-22].

KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini memiliki kedudukan yang agung, karena menerangkan rukun Islam yang merupakan tonggak-tonggak agama yang mulia ini. Di antara perkataan ulama yang menunjukkan keagungan kedudukan hadits ini ialah :

1. Imam al Qurthubi rahimahullah berkata,”Yang dimaksudkan, bahwa lima ini merupakan dasar-dasar agama Islam dan kaidah-kaidahnya, yang agama Islam dibangun diatasnya, dan dengannya Islam tegak”. [Syarh Arba’in Haditsan, hlm. 20, karya Ibnu Daqiqil ‘Id.

2. Imam an Nawawi rahimahullah berkata,“Sesungguhnya hadits ini merupakan pokok yang besar di dalam mengenal agama (Islam), dan agama (Islam) bersandar di atas hadits ini, dan hadits ini mengumpulkan rukun-rukunnya.” [Syarh Muslim, karya Nawawi, 1/152]

3. Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata: “Hadits ini memiliki urgensi yang besar, karena hadits ini memberikan penjelasan dasar-dasar dan kaidah-kaidah Islam, yang Islam dibangun di atasnya, yang dengannya seorang hamba menjadi muslim, dan dengan tanpa itu semua seorang hamba lepas dari agama”. [Qawaid wa Fawaid minal Arba’in Nawawiyah, hlm. 53].

Setelah kita mengetahui hal ini, maka sepantasnya kita memperhatikan hadits ini, memahami dengan sebaik-baiknya dan menyebarkannya.

KETERANGAN DAN FAIDAH HADITS
Kewajiban umat mengambil dan memahami agama ini melalui para ulama yang terpercaya. Maka inilah di antara penjelasan para ulama terhadap hadits yang agung ini.

1. Islam Hilang Tanpa Syahadatain
Imam Ibnu Rajab al Hambali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata: “Maksud hadits ini adalah menggambarkan Islam sebagaimana bangunan, sedangkan tiang-tiang bangunannya adalah (yang) lima ini. Sehingga, bangunan itu tidak dapat tegak kokoh, kecuali dengan kelimanya. Sedangkan bagian-bagian Islam yang lain seperti pelengkap bangunan. Apabila sebagian pelengkap ini tidak ada, maka bangunan itu kurang (sempurna), namun masih tegak, tidak roboh dengan kurangnya hal itu. Berbeda dengan robohnya lima tiang ini. Sesungguhnya Islam akan hilang –tanpa kesamaran- dengan ketiadaan kelimanya semuanya. Demikian juga Islam akan hilang dengan ketiadaan dua syahadat. Yang dimaksudkan dengan dua syahadat adalah iman kepada Allah dan RasulNya... Dengan ini diketahui, bahwa iman kepada Allah dan RasulNya termasuk dalam kandungan Islam”. [Diringkas dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 145, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Penerbit ar Risalah, Cet. Kelima, Th. 1414H/1994M].

2. Makna Syahadatain Dan Kandungannya
Al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th 852 H) mengatakan, yang dimaksudkan syahadat disini ialah membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mencakup keyakinan rukun iman yang enam dan lainnya. [Fathul Bari, hadits no. 8].

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata: “Islam adalah amalan-amalan lahiriyah. Namun Islam ini tidak sah, kecuali dengan kadar yang mengesahkannya yang berupa iman, yaitu iman yang wajib kepada rukun iman yang enam. Iman yang wajib, maksudnya, ukuran paling sedikit dari iman yang dengannya seseorang menjadi orang Islam. Ini dimuat di dalam sabda Nabi: “Engkau bersyahadat Laa ilaaha illa Allah”. Karena makna syahadat adalah keyakinan, perkataan dan pemberitaan (pemberitahuan). Sehingga syahadat mencakup tiga perkara ini. Rukun iman yang enam, kembalinya kepada keyakinan tersebut”. [Syarah Arba’in Nawawiyah, hadits no. 2, hlm. 14 pada kitab saya].

3. Syahadat Dilakukan Dengan Lisan, Hati Dan Berdasarkan Ilmu.
Penulis kitab Fawaid Ad- Dzahabiyah :Seseorang wajib bersyahadat dengan lidahnya, dengan keyakinan hatinya, bahwa Laa ilaaha illa Allah, maknanya ialah, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Yaitu engkau bersyahadat dengan lidahmu, dengan keyakinan hatimu bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dari kalangan makhluk, baik Nabi, wali, orang shalih, pohon, batu, ataupun lainnya, kecuali Allah. Dan yang diibadahi dari selain Allah adalah batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru (ibadahi) selain Allah, itulah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar -al Hajji ayat 62-. [Dinukil dari kitab al Fawaid adz Dzahabiyah min Arba’in Nawawiyah, hlm. 18, faidah ke-10. Dikumpulkan oleh Abu Abdillah Hammud bin Abdillah al Mathor dan Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz].

4. Makna Syahadatain
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata: “Barangsiapa bersyahadat Laa ilaaha illa Allah, berarti dia meyakini dan memberitakan, bahwa tidak ada sesuatupun berhak terhadap seluruh jenis-jenis ibadah, kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dan di dalam kandungannya, orang yang menghadapkan ibadah kepada selainNya, maka dia adalah orang yang zhalim, melanggar batas terhadap hak Allah Ta’ala.

Dan syahadat “Muhammad adalah utusan Allah”, yaitu seseorang meyakini, memberitakan dan mengumumkan bahwa Muhammad, yaitu Muhammad bin Abdullah, dari suku Quraisy, dari kota Mekkah, adalah utusan dari Allah dengan sebenarnya. Dan sesungguhnya, wahyu turun kepada beliau, sehingga beliau memberitakan dengan apa yang Allah katakan. Bahwasanya beliau hanyalah mubaligh (orang yang menyampaikan) dari Allah Ta’ala. Dan ini jelas dari kata rasul, karena rasul maknanya (secara bahasa Arab, Pen.) adalah mubaligh”. [Syarah Arba’in Nawawiyah, hadits no. 3, hlm. 27 pada kitab saya]
.
Adapun syahadat ”Muhammad adalah utusan Allah”, yaitu beriman kepadanya, bahwa beliau adalah utusan Allah, Dia mengutusnya kepada seluruh manusia, sebagai basyir (pembawa berita gembira) dan nadzir (pembawa berita ancaman). Sehingga berita-berita dari beliau diyakini, perintah-perintahnya dilaksanakan, apa yang dilarang beliau, ditinggalkan, dan beribadah kepada Allah hanya dengan apa yang beliau syari’atkan. [Al Hadits fiah an Nasyiah, hlm. 49, karya Dr. Falih bin Muhammad ash Shaghir dan Adil bin Abdusy Syakur az Zirqi].

5. Urgensi Shalat
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, yang dimaksudkan shalat disini adalah, selalu melaksanakannya atau semata-mata melakukannya.” [Fathul Bari, hadits no. 8].

Sesungguhnya shalat merupakan tiang agama Islam, sebagaimana tiang pada tenda. Tenda itu tidak berdiri, kecuali dengan tiang tersebut. Jika tiang itu roboh, maka tenda pun roboh. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yaitu: dua syahadat), tiangnya adalah
shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad. [HR Tirmidzi, no. 2616; Ibnu Majah, no. 3872; Ahmad, juz 5, hlm. 230, 236, 237, 245; dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ush Shaghir, no. 5126].

6. Hukum Orang Yang Tidak Shalat.
Meninggalkan shalat ada dua bentuk. Pertama, meninggalkan shalat sama sekali dengan tidak meyakini kewajibannya. Maka pelakunya kafir dengan kesepakatan ulama. Kedua, meninggalkan shalat sama sekali, karena malas atau sibuk, dengan meyakini kewajibannya. Dalam masalah ini, para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat pelakunya belum kafir, sebagian yang lain mengkafirkannya. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat -insya Allah- berdasarkan banyak dalil dan perkataan Salafush Shalih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR Muslim, no. 82; Tirmidzi, no. 2618; Abu Dawud, no. 4678; Ibnu Majah, no. 1078]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Makna ‘(batas) antara seseorang dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat', bahwa yang menghalangi dari kekafirannya adalah keadaannya yang tidak meninggalkan shalat. Maka jika dia telah meninggalkannya, tidak tersisa penghalang antara dia dengan kesyirikan, bahkan dia telah masuk ke dalamnya”. [Syarah Muslim, hadits no. 82].

Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat mayoritas sahabat. [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, juz 1, hlm. 172-177].

7. Urgensi Zakat Dan Hukum Tidak Membayar Zakat.
Rukun Islam ketiga adalah membayar zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Zakat itu Allah wajibkan atas harta-harta orang yang mampu, dengan perincian yang dibahas oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqih. Orang yang sudah wajib zakat, namun tidak membayarnya, maka ia mendapatkan dosa besar dan ancaman yang keras. Namun dia tidak menjadi kafir, jika masih mengimani kewajibannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya darinya (yaitu zakat), maka jika telah terjadi hari Kiamat, dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari neraka, kemudian lempengan-lempengan dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya. Setiap kali lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari Kiamat), yang satu hari ukurannya lima puluh ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat (atau, akan diperlihatkan) jalannya, kemungkinan menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka. [HR Muslim, no. 987, dari Abu Hurairah]

Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili (dosen Universitas Islam Madinah, Arab Saudi) berkata,”Hadits ini menyatakan, bahwa orang yang tidak berzakat mendapatkan balasan siksaan, dikarenakan dia meninggalkan zakat. Kemudian dia akan melihat jalannya, mungkin menuju surga atau neraka. Jika dia menjadi kafir, maka pasti di dalam neraka, karena sesungguhnya surga diharamkan atas orang kafir. Ini menunjukkan tetapnya keislaman orang tersebut dan tidak kafirnya dengan sebab dia meninggalkan zakat, jika dia mengakui kewajibannya, wallahu a’lam.” [Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, juz 1, hlm. 178]

8. Urgensi Puasa Ramadhan, Rukun Islam Keempat Adalah Berpuasa Pada Bulan Ramadhn.
Rukun Islam keempat adalah berpuasa pada bulan Ramadhan. Yaitu beribadah kepada Allah dengan menahan perkara yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar shadiq sampai tenggelam matahari. Umat telah sepakat tentang kewajiban puasa Ramadhan. Orang yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.

9. Kedudukan Haji
Rukun Islam kelima adalah haji. Yaitu beribadah kepada Allah dengan pergi ke kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kewajiban haji ini bagi orang yang memiliki kemampuan, yang mencakup tiga perkara. Pertama, sehat jasmani. Kedua, bekal yang cukup untuk pergi dan pulang, bagi dirinya maupun bagi keluarganya yang ditinggalkan. Ketiga, keamanan perjalanan menuju tanah suci.

Orang Islam yang memiliki kemampuan, namun tidak berhaji, maka dia benar-benar terhalang dari kebaikan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ: إِنَّ عَبْدًا صَحَّحْتُ لَهُ جِسْمَهُ وَ وَسَّعْتُ عَلَيْهِ فِيْ الْمَعِيْشَةِ يَمْضِى عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لاَ يَفِدُ إِلَيَّ لَمَحْرُوْمٌ

Sesungguhnya Allah befirman : “Sesungguhnya seorang hamba yang telah Ku-sehatkan badannya, dan telah Ku-lapangkan penghidupannya, telah berlalu lima tahun, dia tidak datang kepadaKu, dia benar-benar orang yang terhalang dari kebaikan”. [HR Ibnu Hibban, Abu Ya’la, dan al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Mausu’ah al Manahi asy Syar’iyyah, juz 2, hlm. 100].

10. Kewajiban Memahami Hadits Dengan Memahami Hadits-Hadits Yang Semakna.
Conoth di dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan, haji didahulukan daripada puasa. Namun di dalam sebuah riwayat Imam Muslim disebutkan, puasa didahulukan daripada haji. Ini mengisyaratkan bahwa lafazh riwayat Imam Bukhari diriwayatkan dengan makna. [Lihat Fathul Bari, syarah hadits no. 8].

11. Agama Islam Bukan Lima ini Saja
Hadits ini menjelaskan lima dasar atau rukun agama Islam. Ini berarti, agama Islam bukan hanya lima ini saja, tetapi lima ini adalah rukunnya. Bahkan kita wajib masuk ke dalam agama Islam ini secara keseluruhan, baik dalam masalah aqidah, ibadah, mu’amalah, pakaian dan lain-lain, dari ajaran agama Islam yang ada di dalam al Kitab dan as Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. [al Baqarah : 208].

12. Mengapa JIhad Tidak Termasuk Rukun Islam
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Jihad tidak disebut, karena (hukumnya) fardhu kifayah. Jihad tidaklah fardhu ‘ain, kecuali pada beberapa keadaan. Oleh karena itu, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma menjadikannya sebagai jawaban terhadap orang yang bertanya (kepadanya). Di dalam akhir (hadits) riwayat (Imam) Abdurrazaq terdapat tambahan “dan jihad itu termasuk amalan yang baik”. [Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, hadits no. 8]

Imam Ibnu Rajab menyebutkan dua alasan tidak disebutkannya jihad di dalam rukun Islam yang lima.
Pertama : Bahwa jihad hukumnya fardhu kifayah, menurut mayoritas ulama, sedangkan lima rukun ini fardhu ‘ain.
Kedua : Bahwa jihad akan berhenti di akhir zaman, yaitu setelah turunnya Nabi Isa. Waktu itu, agama yang ada hanya Islam, sehingga tidak ada jihad. Adapun lima rukun ini merupakan kewajiban mukminin sampai hari Kiamat. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 152].

Demikian sedikit keterangan tentang hadits yang agung ini. Semoga bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca.

(Sumber : Al-Manhaj)

LARANGAN BERKATA "SEANDAINYA....", Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

LARANGAN BERKATA "SEANDAINYA...."

Oleh
Ustadz Abu Haidar as Sundawi


Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan “seandainya” yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

… Mereka (orang-orang munafik) berkata: "Seandainya kita memiliki (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”… [Ali Imran : 154].

Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan “seandainya”, yang bermaksud untuk menggugat syari’at.

Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : “Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka,” Zubair berkata lagi : “Lalu, demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan,’Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini’.”

Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat ”Mereka berkata ‘ seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini”. Lalu Allah menjawab :

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ

Katakan (wahai Muhammad) : “Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka”.

Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1]

Perkataan mereka yang menyatakan “seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini …,” dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah n ketika beliau n menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka “seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh”. [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala pada ayat yang lain :

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak ikut berperang : “Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh”. [Ali Imran : 168].

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :

قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah olehmu : “Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar”. [Ali Imran : 168].

Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang benar.

Kata Mujahid, dari Jabir bin ‘Abdullah, ayat ini turun tentang ‘Abdullah bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini. [3]

Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri 'Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang Uhud, ia berkata : "Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafik sebelum itu. [4]

Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika 'Abdullah bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : "Seandainya mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad". Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran [5]. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang : "Seandainya mereka bersama-sama kami, maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh". [Ali Imran : 156]. Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.

Jadi, mengatakan "seandainya" dengan maksud untuk menggugat taqdir atau menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan "seandainya" untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk hal yang diharamkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

…Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan "seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi begini-begini,” akan tetapi katakanlah : "Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan.” Karena perkataan "seandainya" bisa membuka amalan setan.[6]

Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan : "Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi”. Ini adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang demikian ini terlarang.

Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan :

1. Dia akan mengatakan : "Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka tidak akan terjadi begini", atau,
2. Dia akan mengatakan : "Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini".

Contoh yang pertama adalah perkataan : "Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang".

Contoh yang kedua adalah perkataan : "Seandainya saya pergi, pasti saya akan untung".

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan : “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya”. Ini berbeda dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis.

Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : “Ini adalah taqdir Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan,” maksudnya adalah, bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan “amalan setan” dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai hal itu. Allah berfirman :

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. [al Mujadilah : 10].

Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di antaranya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan". [7]

Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan tenang, dan lapanglah dadanya.[8]

Dilarangnya ucapan “seandainya”, karena di dalamnya tersirat ada penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid : 22-23].

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengatakan : "Kedudukan sabar dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad".[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya, apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta pasrahlah. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke dalam hatinya. [at Taghabun : 11].

Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa :


أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً
Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10]

Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : “Mengapa engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?”

Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya, bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian, karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri. Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga. Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus melakukannya. Orang-orang musyrik berkata :

لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan juga bapak-bapak kami –al An’am ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi, kemudian mereka mengatakan “kami bertaubat kepada Allah”, tetapi mereka berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan “seandainya” untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan seperti ini adalah batil. Demikian juga ucapan orang-orang musyrik

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم

Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan menyembah berhala -QS az Zukhruf ayat 20- maka perkataan ini adalah batil.

Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya : “karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan”. Dalam hadits lain, Nabi n bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[13]

Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh darah.

Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat.

PERKATAAN “SEANDAINYA” YANG DIPERBOLEHKAN
Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.

Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan :

“Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kebaikan.

Orang kedua mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kejelekan.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang orang yang pertama : “Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya sama”. Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama”.[14]

Boleh juga menggunakan kata “seandainya” sekedar untuk mengabarkan sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan “seandainya saya menghadiri pelajaran, maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu”. Di antara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا

Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[15]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan, seakan-akan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan “sayang sekali, seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak membawa binatang qurban,” akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[16]

Tentang perkataan “seandainya” yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan :

1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti mengatakan “bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini”. Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat di alam ini, padahal ia sudah mati.

2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar’i atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya, yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak neraka”. [17]

Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan syari’at secara hakiki, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diizinkan memberi syafa’at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua sandal yang membuat otaknya mendidih.

3. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar’i. Ini termasuk syirik kecil.

Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a’in) dan yang sejenisnya. Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam menetapkan sebab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Fathul Majid, 551-552.
[2]. Al Qaulul Mufid (2/364).
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (2/139).
[4]. Majmu Fatawa (7/280).
[5]. Al Qaulul Mufid (2/361).
[6]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab az Zuhud, Bab Serorang mukmin semua urusannya baik (4/2295), dari Shuhaib bin Sinan z .
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al Masajid (1/393).
[8]. Al Qaulul Mufid (2/370-372).
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Iman, nomor 130, dan Al Lalikai dalam Syarah Ushulil I’tiqad, no. 1569.
[10]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya, no 3409,5705,5752,6472,5715; Muslim dalam Shahih-nya, no. 2652, dari Abu Harairah Radhiyallahu 'anhu.
[11]. Fathul Majid, 556.
[12]. Al Qaulul Mufid (2/374-375).
[13]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab I’tikaf, Bab seorang isteri mengunjungi suaminya ketika i’tikaf (2/68); Muslim dalam kitab Salam (4/1712) dari Shafiyah binti Hayyi Radhiyallahu 'anha.
[14]. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/230-231); Tirmidzi dalam kitab az Zuhud, Bab Niat (2/1413), dari Abu Kabsyah ‘Amr bin Sa’d al Anmari Radhiyallahu 'anhu.
[15]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Haji, Bab orang yang haid harus mengqadha seluruh manasik kecuali thawaf (1/506); Muslim, Kitab Haji, Bab penjelasan cara-cara ihram (2/885), dari Jabir Radhiyallahu 'anhu.
[16]. Al Qaulul Mufid (2/362-363).
[17]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Manaqib Anshar, Bab kisah Abu Thalib (3/62); Muslim dalam Kitab Iman, Bab Syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib (1/194) dari ‘Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu.

(Sumber: Al-Manhaj)

IMAN KEPADA TAKDIR MEMBAWA SUKSES DUNIA–AKHIRAT, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT

IMAN KEPADA TAKDIR MEMBAWA SUKSES DUNIA–AKHIRAT

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Banyak orang salah memahami takdir. Walhasil muncul banyak kesesatan karenanya. Ada dua kubu ekstrim yang saling berlawanan arah dan sama-sama sesat dalam hal ini. Satu kubu menolak takdir. Mereka adalah Qadariyah dan Mu’tazilah serta pengikutnya. Sedangkan kubu lainnya menetapkan takdir secara salah. Mereka adalah golongan Jabriyah dan pengikutnya. Hanya kelompok yang berada di tengah dua kubu itulah kelompok yang benar. Kelompok ini adalah kelompok asli umat Islam yang memahami takdir serta mengimaninya secara proporsional, sesuai dengan dalil al Qur`an dan Sunnah sebagaimana difahami oleh Salafush Shalih.

Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, hukumnya wajib, karena ia merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Adalah sangat ironis jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia ragu bahkan ingkar terhadap takdir, meskipun tidak total. Seseorang yang tidak beriman kepada takdir dan mengingkarinya, maka ia kafir.

Dalam hubungannya dengan kasus pengingkaran terhadap takdir ini, Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’i, menceritakan laporannya kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma tentang Ma’bad al Juhani, tokoh Mu’tazilah pertama yang menyeret penduduk Basrah pada penolakan terhadap takdir. Maka Abdullah bin Umar Radhiyalahu 'anhuma mengatakan: “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang itu, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari golongan mereka dan merekapun terlepas dari golonganku”. (Selanjutnya Ibnu Umar berkata):

وَالَّذِى يَحْلِفُ بِهِ عبدُ الله بْنُ عُمَرَ ، لَوْ أنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًاَ فَأَنْفَقَهُ ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ. ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَ فِيْهِ:
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ . رواه مسلم

“Demi Allah Yang dengan namaNya Abdullah bin Umar bersumpah, kalaulah ada sesorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian ia infakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya sebelum ia beriman kepada takdir”. Selanjutnya beliau berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang panjang, di antaranya (artinya):

“Iman ialah bila kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada para rasulNya, kepada hari akhirat dan bila kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk”. [HR Muslim secara ringkas].[1]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, menerangkan : “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan, bahwa iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, berarti ia telah meninggalkan dan mengingkari satu rukun agama. Kedudukan orang ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain? [Al Baqarah : 85] [2]

عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ : أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ : وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ : لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ . أخرجه أبو داود.

Dari Ibnu ad Dailami (seorang tabi’i), ia berkata : Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau : “Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku”.
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni bumiNya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zhalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Andaikata engkau berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerima infakmu sebelum engkau beriman kepada takdir dan memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, sedangkan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu.
Bila engkau mati tidak berdasarkan iman kepada takdir ini, niscaya engkau masuk ke dalam neraka”.
Ibnu ad Dailami selanjutnya berkata: Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay bin Ka’ab. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay. Ibnu ad Dailami berkata lagi : Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliaupun membawakan hadits kepadaku dari Nabi n tentang hal yang senada dengan perkataan Ubay. [Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud] [3]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, membawakan beberapa riwayat lain yang senada dengan hadits di atas, di antaranya diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain. Dan pada akhirnya beliau t menyimpulkan: “Semua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mengandung ancaman keras bagi siapa saja yang tidak beriman kepada takdir. Hadits-hadits tersebut juga merupakan hujjah pemukul bagi para penolak takdir dari kelompok Mu’tazilah maupun kelompok lainnya. Sementara itu, di antara pemahaman yang dianut Mu’tazilah, ialah menyatakan, bahwa pelaku kemaksiatan akan kekal di dalam neraka. Padahal, keyakinan mereka tentang tidak ada takdir, merupakan salah satu dosa besar dan kemaksiatan yang paling besar. Dengan demikian, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir tentang wajibnya mengimani takdir yang meruntuhkan hujjah mereka, mereka sebenarnya telah menghukumi diri mereka sendiri untuk kekal di dalam neraka jika tidak bertaubat. Ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman salah mereka. Mereka ternyata menentang dalil-dalil mutawatir dari al Qur`an dan Sunnah yang mewajibkan iman kepada takdir, dan dalil-dalil mutawatir yang menolak kekalnya orang-orang bertauhid yang berbuat dosa besar di neraka”. [4]

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ ؛ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي" أخرجه أبو داود

‘Ubadah bin Shamit berkata kepada anaknya:
Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan rasa hakikat iman sebelum engkau memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Sesungguhnya, pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya,’Tulislah!!’. Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat’.”
(Ubadah melanjutkan perkataannya:) Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Barangsiapa yang mati tidak atas dasar (beriman kepada takdir) ini, maka ia tdak termasuk golonganku”. [HR Abu Dawud]. [5]

Namun mengimani dan menetapkan takdir Allah l juga harus secara benar, supaya tidak terperangkap ke dalam pemahaman Jabriyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: Iman kepada takdir meliputi dua peringkat iman. Masing-masing peringkat meliputi dua bentuk keimanan.

Pertama : Beriman bahwa Allah l Maha mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh segenap makhluk, dengan ilmuNya yang bersifat azali dan abadi [6]. Allah Maha mengetahui semua keadaan para maklukNya, baik berkaitan dengan ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan, rizki-rizki maupun ajal-ajal mereka. Kemudian Allah menuliskan segenap takdir makhluk ke dalam Lauh Mahfuzh.”

Selanjutnya Syaikhul Islam rahimahullah membawakan dalil-dalilnya. Di antaranya hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Sesungguhnya pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya ‘Tulislah!!’ Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat!’. [HR Abu Dawud].[7]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، إِنَّ ذَلِكَ فِى كِتاَبٍ، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [Al Hajj : 70]

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. [Al Hadid : 22].

Berikutnya Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan penjelasannya:

Kedua : Beriman kepada adanya kehendak dan kekuasaan Allah yang pasti berlangsung dan meliputi segalanya. Artinya, harus beriman bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak terjadi. Juga beriman bahwa tidak ada suatu gerakan apapun di langit maupun di bumi, begitu pula tidak akan terjadi sesuatupun yang diam, kecuali terjadi dengan kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi di wilayah kekuasaanNya, bila Allah tidak menghendakinya. Allah juga Maha berkuasa terhadap segala sesuatu, baik terhadap yang ada maupun terhadap yang tidak ada. Maka tidak ada satu makhlukpun di bumi maupun di langit, kecuali Allah-lah yang menciptakannya. Tiada Pencipta selain Allah dan tidak ada Rabb selain Dia. [8]

Dari penjelasan syaikhul Islam t di atas, sesungguhnya bisa disimpulkan, bahwa dalam memahami dan mengimani takdir, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, harus meliputi keimanan terhadap empat perkara.

Perkara pertama dan kedua disimpulkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bagian pertama. Sedangkan perkara ketiga dan keempat disimpulkan dari perkataan beliau bagian kedua. Empat perkara tersebut sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Beriman kepada ilmu Allah yang meliputi segala zaman dan tempat. Artinya, harus mengimani bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu, di mana dan kapanpun, baik yang ada maupun yang tidak ada. Termasuk mengetahui amal-amal perbuaan makhluk, baik berupa ketaatan-ketaatan maupun kemaksiatan kemaksiatan. Begitu juga tentang rizki, ajal maupun lain-lainnya.

Kedua : Pada saat yang sama harus beriman pula bahwa Allah menuliskan segala sesuatu yang telah diketahuiNya di Lauh Mahfuzh sebagai ketetapan takdirNya. Ketetapan takdir ini terjadi limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم

Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah n bersabda : “Allah telah menuliskan ketetapan segenap takdir bagi segenap makhluk, sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi dengan jarak limapuluh ribu tahun”. Beliau bersabda: “Sedangkan ‘arsyNya berada di atas air”. [HR Muslim]. [9]

Ketiga : Beriman kepada kehendak (masyi’ah) Allah. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang Allah tidak kehendaki, pasti tidak terjadi.

Keempat : Beriman bahwa Allah Maha mencipta. Artinya, apa saja yang Allah kehendaki adanya, baik benda maupun gerakan benda, maka Allah pasti akan menciptakan dan mengadakannya. [10]

Keempat perkara di atas harus diimani dan difahami sebagai satu kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan, karena keempatnya tidak saling bertentangan satu sama lain.

Pemahaman terhadap masalah takdir di atas, sebenarnya merupakan sebagian konsekuensi penting dalam memahami dan mengimani rukun iman pertama secara benar, yaitu beriman kepada Allah yang meliputi iman kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan UluhiyahNya. Jika benar keimanan seseorang kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat, serta Uluhiyah Allah, benar dalam arti sebenar-benarnya sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, niscaya akan benar pula keimanannya kepada takdir. Sebab iman kepada takdir terkait erat dengan masalah Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan Uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tentu beriman kepada takdir secara benar, tidak menghilangkan daya upaya seseorang untuk melakukan tindakan tertentu agar sukses meraih sesuatu atau terhindar dari marabahaya. Justeru disinilah salah satu letak; benar atau tidaknya seseorang memahami takdir. Sebab daya upaya ini adalah termasuk yang diperintahkan dalam Islam dan wajib dilaksanakan.

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ عُودًا يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.. الْآيَةَ) متفق عليه

Dari Ali Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengiringi jenazah seseorang ke kuburan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil sebatang kayu sambil memukul-mukulkannya ke tanah. Kemudian beliau n bersabda: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya; apakah di neraka atau di surga”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tidak bergantung (pada nasib) saja?” Beliau menjawab: “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya),” Lalu beliau n membaca surah Al Lail ayat 5-10. [Hadits yang muttafaq ‘alaih].[11]

Dalam hadits di atas, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sudah ditetapkannya seseorang, apakah kelak menjadi penghuni sorga atau penghuni neraka, para sahabat lalu menyatakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, bukankah kami lebih baik menunggu takdir saja dan tidak usah berbuat apa-apa?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menolak pernyataan mereka seraya menjelaskan: “Tidak!! Tetapi kalian harus tetap berbuat, sebab masing-masing akan dimudahkan menuju takdir yang ditetapkan baginya”.

Dengan demikian beriman kepada takdir secara benar, sama sekali tidak menghambat upaya dan kreatifitas seseorang. Bahkan semakin memperkuat kreatifitas yang benar dan terarah. Amat berbahaya orang yang secara serampangan mengenyampingkan persoalan takdir, atau terlalu banyak gagasan mengenainya seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah dan pengikut-pengikutnya. Begitu juga, amat berbahaya mengimani takdir menurut gaya Jabriyah. Sebab semua itu berarti melancarkan tuduhan yang sangat keji terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat, diikuti para sahabat serta dua generasi berikutnya sebagai generasi terbaik umat Islam adalah suri tauladan dalam segala hal. Mereka telah tercatat dalam sejarah emas, dengan tinta emas, sebagai generasi yang beriman kepada takdir secara benar dan sebagai generasi yang gigih melakukan perjuangan untuk meraih mardhatillah, tidak ada yang duduk berpangku tangan. Adakah suri tauladan yang lebih baik dari mereka?

Dengan beriman kepada takdir dan kepada rukun-rukun iman lain secara benar sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, maka Allah akan membukakan pintu-pintu pertolonganNya. Kebahagiaan dunia dan akhirat akan dapat diraih, dan kemunduran peradaban akan dapat tersingkirkan. Bi-idznillah wa Taufiqih.

Maraji` :
1. Al Qur’an al-Karim dan juga terjemahnya.
2. Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari. Tash-hih wa tahqiq Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, tarqim Muhammad Fu’ad Abdul Baqi- wa Isyraf ‘ala Thab’ihi : Muhibbuddin al Khathib. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Cet. VII, Th. 1421H/2000 M, Beirut, Libanon.
4. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. II, dari terbitan yang baru – 1421 H/2000 M.
5. Shahih Sunan at Tirmidzi, Syaikh al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. I, dari terbitan yang baru – 1420 H/2000 M.
6. Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh. Muraja’ah Hawasyihi : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Idaaratul Masajid wal Masyari’ al Khairiyah, Riyadh, dari penerbit Maktabah Daar as Salam, Riyadh, Cet. I, 1413 H/1992 M.
7. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat selengkapnya hadits riwayat Muslim dalam Syarah Nawawi I/101 dst. Kitab al Iman Bab I.
[2]. Lihat Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, Bab Ma Jaa’a fi Munkiril Qadar, hlm. 428.
[3]. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, karya Syaikh al Albani, III/147 no. 4699.
[4]. Lihat Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, Bab Ma Jaa’a fi Munkiril Qadar, hlm. 429-430. Dinukil dengan bahasa bebas.
[5]. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, karya Syaikh al Albani, III/148 no. 4700.
[6]. Azali, artinya selama-lamanya, tanpa didahului oleh sesuatupun. Sedangkan abadi, artinya selama-lamanya tanpa diakhiri dengan sesuatupun.
[7]. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, karya Syaikh al Albani, III/148 no. 4700.
[8]. Lihat Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, Th. 1413 H/1993 M, hlm. 162-168.
[9]. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha (XVI/419), Kitab al Qadar, hadits no. 6690. Juga Shahih Sunan Tirmidzi karya Syaikh al Albani (II/450) Kitab al Qadar, Bab 18 hadits no. 2156 tanpa menyebutkan : قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى
الْمَاءِ .
[[10. Empat perkara dari kesimpulan di atas juga dinyatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan dalam Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, Th. 1413 H/1993 M. Hal. 162-168.
[11]. Lihat Shahih al Bukhari-Fathul Bari (VIII/708), Kitab Tafsir al Qur’an, hadits no. 4946, juga (XI/491) Kitab al Qadar, Bab 2, hadits no. 6596. Lihat pula Shahih Muslim Syarh Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha (XVI/412-413), Kitab al Qadar, hadits no. 6675 dll. Juga Shahih Sunan at Tirmidzi (II/441), Kitab al Qadar, hadits no. 2136.

(Sumber: Al-Manhaj)